Ia mengingatkan, “Jadi sebaiknya memang mendeteksi sedini mungkin pada saat usia 12-13 bulan. Harusnya pada 12-13 bulan anak setidaknya mengucapkan tambahan satu sampai dua kata selain ma-ma atau da-da.” 2 jenis speech delay Selain masih kurangnya perhatian serius dari orang tua terhadap kondisi speech delay pada anak, banyak juga persepsi salah mengenai kondisi tersebut. “Speech delay pada anak merupakan suatu gangguan yang perlu diperhatikan, speech delay bukan sebuah diagnosa melainkan sebuah gejala, jadi pada anak-anak dengan speech delay itu adalah gejala awal dari beberapa macam gangguan,” ujar lulusan Spesialis Kesehatan Jiwa, Universitas Indonesia ini. Anggia kemudian menjelaskan speech delay dibagi menjadi dua klaster:
1. Gangguan speech delay fungsional: tergolong ringan, gangguan fungsional itu terjadi karena kurangnya stimulasi atau pola asuh yang salah. 2. Gangguan speech delay nonfungsional: merupakan sebuah akibat karena adanya sebuah gangguan bahasa reseptif, seperti autism ataupun ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) yang dialami anak. “Sangatlah penting untuk mengawasi tumbuh kembang anak secara konsisten. Lakukanlah stimulasi sedini mungkin dengan https://www.dioceseinfo.org/ mulai bicara kepada anak dengan bahasa yang sederhana, jelas, dan sering. Ambil banyak kesempatan untuk berbicara, mendengarkan, dan merespons anak. Bacakan buku bergambar untuk anak. Hindari penggunaan gadget sejak dini,” ujar Anggia mengingatkan. Komunikasi 2 arah Anggia meyampaikan selain dapat mengakibatkan anak kesulitan berkomunikasi, speech delay juga berakibat pada sulitnya orangtua memahami keinginan anak. Bahkan menurutnya, akibat lebih jauh speech delay bisa berdampak serius. “Akibat jauhnya mereka sangat mudah untuk memiliki faktor risiko gangguan jiwa, seperti depresi dan anxiety. Karena itu tadi, mereka tidak bisa mengekspresikan apa yang mereka mau. Bagi mereka semua perasaan itu ga nyaman. Ga nyamannya seperti apa, mereka tidak bisa ngomong atau mengekspresikan apakah mereka sedih, marah, atau kecewa, dan ini bisa berawal dari speech delay tadi,” kata Anggia. Beberapa langkah dapat dilakukan untuk melakukan diteksi dini dapat dilakukan dengan cara:
“Yang saya tahu (saat itu), Lala itu trouble maker. Saya memaksakan dia harus sekolah umum dan sekolah negeri. Namanya juga ibu, saya jujur saja waktu itu otoriter ingin anak saya sekolah. Apalagi saya mantan guru, dan suami saya (Rahardjo Sidharta) berprofesi sebagai dosen (Teknobiologi UAJY),” kenang Patricia. Pengetahuan Patricia waktu itu terbuka ketika Lala mogok sekolah menjelang ujian nasional. Mulanya, dia tidak mau lagi masuk sekolah karena merasa tidak nyaman dengan kegiatan belajar di sekolah dalam mempersiapkan ujian. Namun setelah dipaksa, Lala akhirnya ikut menuntaskan Ujian Nasional agar bisa lulus dari sekolah tersebut. Ajaibnya, meski terpaksa dan tanpa persiapan ujian, Lala lulus dengan nilai sangat memuaskan. “Nilainya bagus-bagus. Saat itulah saya mulai memahami, bahwa kita harus ekstra tenaga mendampingi karena kebutuhan dia berbeda.